lukisan-karya-seni-termahal-di-dunia
Sebuah lukisan karya Andrien Jean Le Mayeur de Merpres berjudul Women around the Lotus Pond terjual dengan harga Rp 3,2 milyar pada sebuah lelang di Galeri Borobudur Jakarta. Para pengamat seni rupa menyebutnya sebagai hammer prices.
Padahal sesaat sebelum acara lelang dimulai, ketika lukisan itu dibawa ke ruang lelang beredar provokasi, bahwa lukisan karya Le Mayeur itu palsu. Dewan rumah lelang itu tidak ingin pelelangan itu kehilangan pamor lalu buru-buru mengeluarkan pernyataan, bahwa tidak ada satupun lukisan-lukisan yang dilelang di Borobudur palsu. Tergiur bahwa harga lukisan di berbagai galeri dan biro lelang yang setinggi langit, maka sejak bertahun-tahun yang silam, di Jakarta bermunculan biro lelang dan galeri lukisan.
Di tahun 1950, lahir sebuah studio seni lukis yang digagas oleh Tjio Tek Djien, pecinta dan sekali gus pialang lukisan. Gagasan itu timbul atas saran Presiden pertama RI Ir.Soekarno yang sangat terkenal amat mencintai lukisan baik lukisan karya pelukis-pelukis terkemuka mancanegara maupun karya pelukis Indonesia sendiri. Banyak pelukis Indonesia yang bekerja pada sanggar milik lelaki bermata sipit yang bernama Tjio Tek Djien itu dan tidak jarang di antara pelukis-pelukis itu dipengaruhi untuk memalsukan lukisan karya pelukis terkemuka di dunia.
Sejak saat itu muncul reproduksi lukisan karya pelukis terkenal jaman Hindia Belanda maupun Indonesia, seperti Le Mayuer, Auke Sonnega, Kees van Dongen, Romualdo Locatelli hingga GP Adolfs. Di kabarkan bahwa reproduksi lukisan ternama itu sebagian besar di distribusikan di Sanur Bali.
Pemalsuan lukisan semakin marak.
Di era tahun 2000 hingga saat ini pemalsuan lukisan semakin marak ketika di republik ini memasuki “era biro lelang”, apa lagi sejak tahun 2002, biro lelang seni rupa mendapatkan angin segar berupa peluang sangat luas yang amat luar biasa. Dan harga lukisanpun menjulang tinggi. Di tahun 1990-an Indonesia hanya mempunyai biro lelang Larasati dan Balindo sebagai mitra biro lelang Christie’s dan Sotheby’s yang melakukan lelang di Singapura dan Hongkong. Hingga kini bermunculan bermunculan biro lelang lukisan dan galeri ,seperti Geleri Darga di Sanur Bali, Borobudur, Galeri Nasional. Cempaka, Masterpiece dan Sidharta Artfordable, Treasure dan lain-lain. Lewat berbagai pameran dan pelelangan selalu terjual lukisan hingga mencapai tidak kurang dari Rp.80. milyar rupiah hanya untuk 15 kali pelelangan.
Terkonsentrasi di Jawa dan Bali.
Daerah-daerah lain tidak harus merasa iri, kalau hingga saat ini arena wacana dan kekaryaan seni rupa modern, terutama lukisan, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Seiring dengan sifatnya yang khas dan cukup laten, bahwa seni rupa modern umumnya berlangsung di walayah urban, maka konsentrasi keberadaan perkembangan lukisan tumbuh di kota-kota besar , terutama di Jawa seperti Jakarta, Bandung , Yogyakarta dan Surabaya serta Bali. Jakarta sebagai kota metropolitan menjadi pusat informasi, sirkulasi dan peluang pasar seni rupa secara ekonomi. Tidak mengherankan, sebagian besar pelukis dan perupa Indonesia dari dekade ke dekade melakukan urbanisasi ke Jakarta maupun kota-kota lainnya di Jawa dan Bali.
Seperti diketahui, bahwa di republik ini kebangkitan seni rupa modern kita dengan diawali oleh era Raden Saleh dan pelukis Hindia Belanda pada abad ke 19. Disusul oleh era Bataviasch Kunstkring pada perempat abad 20, kemudian tercatat era Persagi atau Persatuan Ahli-ahli gambar Indonesia di tahun 1938 hingga 1942.
Disusul era jaman Jepang 1942-1945, kemudian era Indonesia Merdeka dan kesanggaran di tahun 1945-1955, diteruskan era “Politik sebagai Panglima Seni “di tahun 1955-1965. Era kebebasan kreatif tercatat di tahun 1960-1980-an. Terakhir dikenal era “ekonomi sebagai panglima” dan era “Wacana sebagai profil seni rupa Indonesia” yang diawali tahun 1980-an hingga kini.
Lukisan Le Mayeur terjual Rp10 milyar.
Sangat mengejutkan pada sebuah pameran dan lelang lukisan di Hongkong, sebuah lukisan karya Le Mayeur terjual dengan harga Rp.10 milyar. Dan siapa gerangan kolektor yang berani membeli sebuah lukisan dengan harga semahal itu?. Dia adalah orang Indonesia! Semntara itu pada pelelangan l,ain, lukisan karya Jean Michel Basquiat , seorang pelukis kenamaan dari Puerto Rico Haiti yang di Amerika dikenal sebagai “The Angry Young Black Man” terjual dengan harga lima puluh dolar Amerika dan pada kesempatan berikutnya harga itu melonjak hingga ke langit seharga 3 juta dolar.
Wajarlah bila untuk mengangkut 14 lukisan karya Basquiat dari Meksiko ke Bali pialang lukisan yang membawanya harus ekstra hati-hati. Tiga lukisan pelukis kenamaan ini masing-masing “Heaven” (1985), “Becouse It Hurts The Lungs” (1986) dan “Untitled” (1988) terjual di Bali hingga mencapai l0 milyaran rupiah. Diboyongnya lukisan karya pelukis kondang itu dalam rangka pameran dan lelang di Bali. Dan ternyata lukisan karya pelukis kelas dunia itu laku dengan harga berkisar 5 hingga l0 milyar rupiah.
Basquiat sebenarnya lahir di Puerto Rico Haiti dan dijuluki The Angry young black man, namun ia selalu bergadang di Brooklyn New York dan mencorat-coret dinding dengan kata-kata satire berinisial SAMO (Same Old Shit). Bassquiat bukan sembarang orang hitam, sebab darah Perancis mengalir dalam tubuhnya. Gayanya memang khas, seperti kaum aristokrat pinggiran. Foto-foto dirinya yang dalam posenya selalu urakan dan rambutnya dikucir selalu dipajang pada setiap pameran lukisannya.. Sayang sekali pelukis kondang ini mati muda, dalam usia 28 tahun (1960-1988).
JaisDargawijaya adalah pialang lukisan yang sangat berani memikul risiko tinggi memboyoang lukisan asli karya Basquiat. Ia adalah pemilik galeri di Bali dan Paris. Tokoh inipun sering ulang-alik Jakarta Paris atau London untuk urusan corat-coret di kanvas. Dia juga selalu auction di New York, London, Paris dan pernah memamerkan karya pelukis kelas dunia seperti Picasso dan Mattiese.
Kerja sama Perpusnas dan Rijksmuseum Amsterdam
Menyadari akan harga lukisan karya pelukis terkenal di dunia, Perpustakaan Nasioanal R.I di Jakarta telah menjalin kerja sama dengan Rijksmuseum Amsterdam dalam rangka melestarikan warisan budaya bangsa. Kerja sama ini ditandatangni pada tahun 1995. Sebagai museum terbesar di Belanda Rijksmuseum memiliki 40 lukisan karya Johannes Rach yang hidup di tahun 1720-1783.
Pada saat ini pecinta lukisan dapat melihat repoduki lukisan karya pelukis Rach.di Perpustakaan Nasional R.I. Saat ini di Perpustakaan Nasional RI tersimpan dengan baik reproduksi lukisan sebanyak 202 buah. Pihak Erasmus Huis di Jakarta sangat mendukung kesepakatan ini untuk pelestarian warisan budaya bangsa.
Pameran lukisan karya Racht sudah dipamerkan diberbagai negara seperti Jepang, Singapura, Afrika Selatan dan Inggris. Johannes Rach adalah pelukis terkenal berkebangsaan Belanda di masa kolonial.
Selain Rijksmuseum Amsterdam, pihak British Library juga telah menyumbangkan reproduksi koleksi lukisan lain maupun karya-karya seni rupa berupa arkeologi Indonesia, seperti candi, patung, keris dan sebagainya.
Disamping itu Perpustakaan Nasional RI juga memiliki peta yang dibuat di tahun 1669 hingga sekarang. Jenis koleksi peta yang tersedia meliputi topografi, geologi, kemampuanm tanah, pertambangan, pertanian dan sejarah. Media yang digunakan adalah berupa kain, kertas dan plasik.
Karya Sastra belum semahal lukisan
Kalau harga lukisan mencapai milyaran rupiah perbuah, bagaimana dengan karya seni lainnya. Memang tidak sehebat itu. Yang pasti karya sastra jauh di bawah harga sebuah lukisan Basquiat atau Le Mayeur. Novel-novel hasil karya pengarang peraih nobel sekalipun belum dihargai masyarakat setinggi itu.
Ernest Hamingway (1899-1961) adalah pengarang yang sangat terkenal dan pernah mendapatkan hadiah Pullitzer di tahun 1953 dan peraih anugerah novel untuk kesusastraan di tahun berikutnya, belum tentu bukunya berharga setinggi itu. Demikian juga dengan Toni Marrison, pengarang perempuan dari negeri Paman Sam ,peraih hadiah nobel kesustraan di tahun 1993.
Masih banyak lagi pengarang kelas dunia yang pernah mendapatkan hadiah Nobel ,seperti sastrawan berdarah China Gao Xingjian yang diusir dari negaranya lalu hijrah ke Paris yang akhirnya meraih anugerah Nobel di tahun 2000 dan sebelumnya sastrawan Rusia Alexsander Solzhenitsyn yang meraih nobel di tahun 1970, buku-buku mereka belum tentu berharga semahal itu.
Apalagi novel dan sastra di daerah Sumatera Utara saat ini, sungguh sangat lesu, dan hampir kehabisan nafas, sehingga keadaannya seperti gurem yang merayap dalam kain sutera berwarna merah, geliatnya tidak terlihat oleh kasat mata.
0 komentar:
Posting Komentar