Tari Buyung
Bagi sebagian orang termasuk Anda, nama ‘buyung’ mungkin membangkitkan pertanyaan. Buyung adalah sejenis alat yang terbuat dari logam ataupun tanah liat yang digunakan oleh sebagian wanita desa pada jaman dulu untuk mengambil air di sungai, danau, mata air, atau di kolam.
Tarian yang selalu ditampilkan pada puncak acara Seren Taun ini merupakan kreasi Emalia Djatikusumah, istri Pangeran Djatikusumah, seorang sesepuh adat. Gerak lembut dan nuansa alam di kala bulan purnama mengilhami lahirnya karya cipta tari yang mengisahkan gadis desa yang turun mandi dengan teman-temannya untuk mengambil air di pancuran Ciereng dengan buyung.
Keunikan dan keistimewaan tarian ini adalah kemampuan para penari untuk menari di atas kendi, sambil menjunjung buyung. Anda akan menyadari filosofi di setiap gerakan dalam tari Buyung yang memiliki makna tersirat. Menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) erat hubungannya dengan ungkapan “di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung”. Membawa buyung di atas kepala sangat memerlukan keseimbangan. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran.
Pergelaran Tari Buyung dengan formasi Jala Sutra, Nyakra Bumi, Bale Bandung, Medang Kamulan, dan Nugu Telu memiliki makna yang menyiratkan bahwa masyarakat petani Sunda adalah masyarakat yang religius. Tuhan diyakini sebagai Kausa Prima (sebab akibat) dari segala asal-usul sumber hidup dan kehidupan. Sementara manusia merupakan mahluk penghuni bumi yang paling sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar